Estetika Visual dan Makna Punakawan Wayang Kulit Purwa: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong
Punakawan mempunyai perjalanan sejarah panjang, sejak abad ke-12, hingga kini punakawan yang tampil dengan cirri fisik wajah khas, bisa tampil sebagai tokoh dengan berbagai peran sesuai dengan zamannya. Punawakan merupakan tokoh-tokoh ciptaan seniman Indonesia yang mampu merebut hati penonton seni p...
Saved in:
Main Authors: | , |
---|---|
Format: | Tugas Akhir |
Language: | Indonesian |
Published: |
Program Pascasarjana ISI Yogyakarta
2013
|
Subjects: | |
Online Access: | http://opac.isi.ac.id//index.php?p=show_detail&id=17172 |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Summary: | Punakawan mempunyai perjalanan sejarah panjang, sejak abad ke-12, hingga kini punakawan yang tampil dengan cirri fisik wajah khas, bisa tampil sebagai tokoh dengan berbagai peran sesuai dengan zamannya. Punawakan merupakan tokoh-tokoh ciptaan seniman Indonesia yang mampu merebut hati penonton seni pertunjukan di Indonesia mulai dari pertunjukan wayang kulit, wayang orang hingga pertunjukan melalui layar kaca. Keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia menjadikan bentuk dan tampilan visual punakawan di setiap daerah penelitian yang berbeda, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Cirebon. Masing-masing daerah mempunyai keunikan tersendiri, baik tampilan visual maupun maknanya.Ketika Mahabharata yang merupakan sebuah epos para bangsawan dengan tatanan yang pasti masuk dan berkembang di Jawa, maka tatanan itu tidak sepenuhnya bisa diterima dan diciptakannya sebuah bentuk protes melalui wujud Punakawan. Mereka merupakan sebuah interupsi yang menggangu konsensus atas tatanan yang memisahkan dan membagi-bagi sesame berdasarkan klasifikasi tertentu sebagai bagian keinginan yang berkuasa. Punakawan menjadi menarik untuk diteliti karena tatanan estetik yang terkait dengan kekuatan dan kekuasaan.Melalui tahapan deskripsi praikonografis, analisis ikonografis, dan interprestasi ikonologis, serta menggunakan teori-teori pendukung yang lain dalam topik penelitian kajian budaya ini, maka dapat disimpulkan bahwa penukawan sebagai sub kultur merupakan strategi kaum tidak berdaya untuk mendefinisikan ketidak berdayaan kepada penguasa, artinya, tradisi cerita yang diperankan punakawan memberi ruang untuk kritik, untuk segala ketidakpatutan, dan untuk sikap egaliter, tapi ruang itu terpisah secara kategoris dari pusat wacara politik kekuasaan, dan merupakan bentuk pemberontakan terhadap kemapanan idiom artistic dan ideologi estetik tertentu. Punakawan diproduksi sebagai mitor yang digunakan oleh kedua belah pihak, yaitu penguasa dan rakyat yang ditafsirkan sesuai sosio kultur daerah masing-masing. Ketika dipakai oleh penguasa, mitor yang disampaikan akan sangat berbeda dengan ketika digunakan oleh rakyat. |
---|