Sosiologi teater

Penulisan pada bab-bab terdahulu adalah untuk memaknai kehadiran Rendra dan Mini Kata di dalam teater modern Indonesia di Yogyakarta. Objek penulisan ini adalah Rendra dan Mini Kata. Pertimbangan memilih objek penulisan Rendra, karena, pertama Rendra adalah tokoh teater Indonesia yang banyak mendapa...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: SAHID, Nur
Format: Partitur/Praktek Musik
Language:Indonesian
Published: Prastista 2008
Subjects:
Online Access:http://opac.isi.ac.id//index.php?p=show_detail&id=3274
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
PINJAM
Description
Summary:Penulisan pada bab-bab terdahulu adalah untuk memaknai kehadiran Rendra dan Mini Kata di dalam teater modern Indonesia di Yogyakarta. Objek penulisan ini adalah Rendra dan Mini Kata. Pertimbangan memilih objek penulisan Rendra, karena, pertama Rendra adalah tokoh teater Indonesia yang banyak mendapat perhatian dari masyarakat di sepanjang paro kedua abad ke-20. Tidak ada satu pun seniman teater yang mendapat pemberitaan sebanyak Rendra. Kedua, Rendra adalah tokoh pembaru pertunjukan teater di Indonesia. Pembaruan yang dilakukannya tidak hanya berada di wilayah kesenian tetapi juga pada pemikiran kebudayaan. Ketiga, Rendra adalah seniman yang selalu mempertimbangkan akar tradisi budayanya di setiap karya teaternya. Pertimbangan pemilihan objek penulisan Mini Kata, karena, pertama Mini Kata adalah pertunjukan teatrikal yang berhasil ”menghentikan” dominasi konvensi pertunjukan teater realisme saat itu. Kedua, Mini Kata mendapat banyak tanggapan dari kalangan anak muda, seniman, intelektual, politikus, dan budayawan, dibandingkan pertunjukan teater Rendra lainnya. Ketiga, Mini Kata yang pada awalnya merupakan suatu metode pelatihan akting berhasil memberi sumbangan penting bagi perkembangan proses pelatihan teater. Keempat, teater Mini Kata yang menjadi suatu bentuk pertunjukan artistik menyumbang kehadiran suatu pemikiran keilmuan dan kebudayaan. Membaca Rendra dan Mini Kata dilakukan dengan menggunakan analisis tekstual pertunjukan Marco de Marinis. Analisis tersebut mengungkapkan, pertama, pertemuan antardisiplin dalam kajian teater Mini Kata dan memberi kontribusi bagi usaha membuka batasan normatif tentang definisi pertunjukan teater Mini Kata dan proses produksinya. Kedua, mendeskripsikan pertunjukan teater Mini Kata sebagai teater baru dan merekonstruksi pertunjukan Mini Kata di masa lalu. Di dalam proses rekonstruksi, analisis tekstual pertunjukan menghadirkan kembali konteks pertunjukan ”yang hilang” dalam suatu kerja praktis metodis, sedangkan dalam mendeskripsikan pertunjukan teater baru, analisis tekstual pertunjukan membentuk suatu model analisis dan langsung berfungsi mengembangkan sistem praktisnya. Ketiga, analisis tekstual pertunjukan memaknai peristiwa sosial yang muncul sebagai dampak kehadiran Mini Kata sebagai karya seni, atau sebaliknya. Kehadiran karya seni mempengaruhi, baik langsung maupun tidak, sebuah gerakan kebudayaan. Keempat, analisis tekstual pertunjukan digunakan dengan mengaitkan antara analisis teatrikal pertunjukan Mini Kata dan resepsi penonton. Dalam hal ini, resepi penonton terwakili melalui analisis dari sutradara dan penyutradaraannya, serta analisis dari pemeran dan pemeranannya. Membaca Rendra dan Mini Kata melalui analisis tekstual pertunjukan, dengan demikian, dilakukan dengan cara menganalisis dan menginterpretasi jaringan konteks di sekitar Rendra dan Mini Kata. Analisis tersebut dilakukan pada peristiwa kesenian maupun peristiwa nonkesenian. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan elemen yang saling mengait dan membentuk konstruksi sebuah objek kesenian. Objek yang dihasilkan dari sebuah jaringan konteks merupakan sebuah teks. Teks Rendra dan Mini Kata dibangun melalui elemen-elemen konteks yang saling mempengaruhi, menyilang, dan membangun secara interteks. Jaringan konteks Rendra dan Mini Kata terjabarkan sebagai berikut. Jaringan konteks pertama, Mini Kata adalah seni pertunjukan teater yang diproduksi melalui pelatihan keaktoran dan langsung ditampilkan di hadapan penonton. Pergeseran bentuk dan makna teater tradisi menjadi teater modern dan pergeseran cara memproduksinya memberi jalan bagi terbentuknya pertunjukan teater Indonesia sebagai seni pertunjukan modernis. Pertunjukan teater modern berlangsung dari proses pelatihan atau training, workshop, hingga pertunjukannya. Jaringan konteks kedua adalah relasi intertekstual teater Indonesia dengan teater Amerika. Teater Indonesia adalah bentuk teater yang memiliki sifat tradisi sekaligus modern. Bentuk teater Indonesia dibangun oleh kehendak menjadi satu, yaitu Indonesia. Teater di Amerika ingin memerdekakan diri dari dominasi Eropa dengan menggali keragaman dan perbedaan di setiap nilai budaya melalui semangat eksperimental yang khas Amerika. Jaringan konteks ketiga adalah biografi Rendra dan kehadiran Bengkel Teater. Seniman adalah produser seni. Komitmen dan relasinya dengan masyarakat menentukan produksi seni yang dihasilkannya. Semenjak remaja, Rendra dikenal dekat dengan kehidupan seniman. Ia juga bergaul dengan masyarakat biasa yang jauh dari tata krama kaum priyayi dan intelektual. Kebiasaan tersebut menjadi daya dukung bagi watak pemberontak dan kreativitas pembaruannya. Rendra terus mempertimbangkan tradisi melalui karya-karyanya, dan ia melakukannya di dalam kelompok yang didirikannya bersama teman-temannya, yaitu Kumandang Cita (1952) di Solo, Artis Theatre (1956) di Yogyakarta, Lingkaran Studi Drama Mahasiswa (1960) di Yogyakarta, Yayasan Teater (1967) di Yogyakarta, dan Bengkel Teater (1968) di Yogyakarta. Secara biografi s, Rendra menjadi role model bagi seniman teater yang ingin ”setia” pada profesinya. Jaringan konteks keempat adalah konteks produksi Bip Bop. Karya seni merupakan produk masyarakat. Dalam hal ini produk bukanlah suatu hasil, tetapi merupakan proses pembentukan karya seni yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Jaringan tersebut mengungkapkan cara menganalisis dan menginterpretasi kehadiran suatu bentuk konvensi teater. Mini Kata dalam pengertian teatrikal adalah metode pelatihan yang mementingkan spontanitas, improvisasi dan eksplorasi tubuh aktor dalam rangka menyatukan antara tubuh, pikiran, dan batinnya. Teater Mini Kata sebagai seni pertunjukan modernis tidak hanya muncul karena adanya pergeseran nilai seni dan budaya dalam masyarakat, tetapi juga pergeseran komitmen Rendra terhadap masyarakat dan pergeseran selera estetis masyarakat. Teater Mini Kata dianggap sebagai karya baru sekaligus pelopor bagi kehadiran konvensi teater modern Indonesia di Yogyakarta. Paro kedua abad ke-20 menjadi saksi di mana bentuk Mini Kata mempengaruhi pertunjukan teater modern Indonesia dan diikuti oleh pertunjukan teater yang dihadirkan oleh anak-anak muda. Teater Mini Kata adalah mini dalam kata tetapi maksi dalam makna. Setiap ucapan yang sedikit dan gerak tubuh yang kaya dicipta aktor memiliki makna yang berlapis-lapis. Mini Kata menjadi suatu konvensi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut, pertama bersifat paralinguistik atau nonverbal; kedua, menggunakan metode pelatihan alam; ketiga, berlangsung dengan sistem penciptaan improvisasi dan spontan; keempat, menghasilkan teknik akting gerak indah; kelima, menghadirkan aktor sebagai pusat penciptaan; dan keenam, berbentuk teater eksperimental dengan kecenderungan cita rasa kekinian. Rendra dibesarkan dalam tradisi Jawa dan suasana pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Eyangnya menginginkan Rendra kecil sekolah di Kasatrian, sekolah anak kaum ningrat di Solo atau Yogyakarta. Sebaliknya, ayahnya menginginkan Rendra sekolah di sekolah Katolik yang modern dan Barat. Rendra memberontak dari keharusan tradisi semacam itu. Melalui kehadiran Mini Kata, sikap pemberontakannya muncul melalui suatu sikap yang dinamakannya urakan. Tradisi Jawa yang penuh tata krama, kepatuhan dan sopan santun ditandingi oleh sikap urakan yang menurut Rendra berguna untuk membongkar kebekuan tradisi dan mewujudkan pribadi-pribadi yang unik dan mandiri. Kehadiran Rendra dan Mini Kata merupakan potret jiwa zamannya. Rendra identik dengan Mini Kata. Tidak ada Mini Kata tanpa kehadiran Rendra. Meskipun nomor-nomor Mini Kata tidak hanya dicipta oleh Rendra tetapi juga oleh kawan-kawannya di dalam kelompok Bengkel Teater, tetapi Rendra dan Mini Kata menjadi satu kesatuan, seperti istilah Artaud, ’Teater dan Kembarannya’, ’Rendra dan Kembarannya’. Rendra identik dengan Mini Kata. Pada saat seseorang memaknai Rendra dipastikan Mini Kata dimaknai pula, demikian juga sebaliknya. Rendra hadir di masa transisi, yaitu dari masa kemerdekaan ke masa pemerintahan Soekarno, dan dari masa Presiden Soekarno berlanjut ke masa pemerintahan Soeharto, bahkan masa pemerintahan kini. Karyanya Mini Kata mempertebal gagasan dan sikap Rendra menjadi tokoh transisi dan tokoh garda depan. Di satu sisi, ia adalah pemberontak, tetapi di satu sisi, ia adalah pembaru kesenian. Hasil pemberontakan dan pembaruannya mewujud di dalam penyatuan seluruh elemen masyarakat. Meskipun berbeda dalam pemikiran, elemen tersebut bergabung membentuk kehadiran Rendra. Kehadiran Mini Kata, Bengkel Teater, Kaum Urakan, dan karya-karya Rendra serta penontonnya bersama mencipta peristiwa kesenian. Dengan kata lain, Rendra dan Mini Kata menghadirkan suatu ”gerakan” kebudayaan. Di sini lah makna penting kehadiran Rendra dan Mini Kata. Rendra dan Mini Kata menjadi ikon kebudayaan bagi hadirnya suatu gerakan kesenian dan keilmuan. Nilai-nilai tradisi yang semula melekat dalam kesenian sebagai tuntunan, tatanan, dan tontonan, akhirnya menghadirkan nilai-nilai modern yang mendudukkan kesenian sebagai ”titian”, yaitu membimbing masyarakat bersifat kritis, mandiri, dan mengenali hak-haknya. Kehadiran Rendra dan Mini Kata di tahun 1968 memiliki makna penting bagi teater modern Indonesia di Yogyakarta. Rendra memaknai nilai-nilai tradisi dengan terus mempertimbangkan kegunaannya bagi penonton sesuai dengan perkembangan zaman. Seniman teater diharapkan selalu mengasah kepekaannya terhadap tanda-tanda zaman. Kedisiplinan, kecerdasan, dan kesetiaan seniman pada nurani akan menjaga daya hidup berkesenian, sehingga kehadiran seniman terus terjaga melalui sikap kontekstualnya seperti halnya Rendra yang tidak pernah berhenti ”menapakkan kakinya” di tengah masyarakat. Kota Yogyakarta dianggap memiliki predikat sebagai kota budaya. Banyak seniman, pendidik, dan intelektual dilahirkan dari kota ini. Para seniman, di antaranya Rendra, menghasilkan karya yang setara dengan karya-karya seniman di mancanegara, sehingga kota Yogyakarta pun turut dikenal bahkan disegani seiring dengan penghargaan yang diterima para seniman tersebut. Penulisan tentang kehadiran Rendra di Yogyakarta masih layak untuk dilanjutkan. Konteks di sekitarnya masih banyak yang belum terungkap. Diketahui bahwa Rendra dan kelompoknya, Bengkel Teater, mencipta kreativitas seni yang baru tanpa meninggalkan nilai-nilai seni tradisi. Selain itu, Rendra berhasil pula mencipta suatu gerakan kesenian dan kebudayaan yang menampilkan potensi kota Yogyakarta. Untuk itu, perlu dirancang suatu penulisan tentang karya-karya yang dihasilkannya setelah kehadiran Mini Kata. Penulisan tentang makna kehadiran Rendra dan Mini Kata menghasilkan suatu realitas bahwa kesenian mampu menghadirkan suatu kegiatan yang memiliki kualitas keilmuan. Seni dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keberadaannya saling mendukung. Penulisan yang berhasil mendekatkan keduanya layak disosialisasikan, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan praktisi seni. Dengan cara ini, praktisi seni diharapkan tidak kehilangan referensi bagi kreativitas mereka. Para akademisi seni diharapkan melestarikan perspektif ilmu ke dalam seni, sehingga seni tetap mampu menghadirkan kembali jejak-jejak kreativitas penciptanya. Bengkel Teater merupakan contoh pengelolaan komunitas yang menampilkan citra loyalitas suatu kelompok teater. Penulisan tentang makna dan kehadiran kelompok-kelompok teater di Yogyakarta kiranya layak dilakukan. Apa yang dilakukan Rendra dan Bengkel Teater di tahun 1968 menjadi referensi bagi seniman untuk meningkatkan dan mengembangkan pengelolaan kreativitas seni. Kedisiplinan dan konsistensi menjadi potensi seniman memperjuangkan profesi dalam berkarya. Pembelajaran dalam berkesenian tidak hanya berdasarkan intuisi semata tetapi juga peningkatan keilmuan. Berkarya seni harus diimbangi dengan berolah ilmu. Daya hidup berkesenian harus terus dilestarikan. Hal tersebut akan mendekatkan diri seorang seniman dengan identitasnya. Rendra adalah model estetis bagi proses pencarian identitas seorang seniman