Makna Mongot dalam Pepongoten Pada Prosesi Perkawinan Suku Gayo Kabupaten Aceh Tengah

Ratapan atau lamentasi biasa dilakukan untuk meratapi kepergian orang meninggal bahkan dengan cara bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Lamentasi tidak hanya berkaitan dengan konteks kematian, namun juga ditujukan pada pengalaman kesedihan, kehilangan, dan keterasingan. Bentuk lamentasi yang dilak...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: OCKTARIZKA, Tria
Format: Tugas Akhir
Language:Indonesian
Published: PPS ISI Yk. 2018
Subjects:
Online Access:http://opac.isi.ac.id//index.php?p=show_detail&id=40445
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
PINJAM
Description
Summary:Ratapan atau lamentasi biasa dilakukan untuk meratapi kepergian orang meninggal bahkan dengan cara bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Lamentasi tidak hanya berkaitan dengan konteks kematian, namun juga ditujukan pada pengalaman kesedihan, kehilangan, dan keterasingan. Bentuk lamentasi yang dilakukan oleh masyarakat suku Gayo ditujukan untuk upacara perkawinan. Masyarakat Gayo menyebut seni tutur tradisi yang bergaya lamentasi tersebut dengan nama pepongoten. Seiring pesatnya perkembangan Islam di Aceh, pepongoten sudah tidak dilakukan dalam prosesi kematian karena hal tersebut bertentangan dalam ajaran dan norma Islam. Akan tetapi pepongoten sudah jarang ditemui di era modernisasi. Suku gayo sudah jarang menggunakan pepongoten dalam adat perkawinan. Kini pepongoten sudah dijadikan sebuah seni pertunjukan. Munculnya pepongoten dalam pentas pertunjukan memungkinkan adanya makna yang berbeda dari bentuk pepongoten. Sehingga menarik perhatian penulis untuk mengetahui makna dari dihadirkannya pepongoten tersebut dalam upacara perkawinan serta untuk melihat seberapa pentingkah hal tersebut dalam masyarakat Gayo. Teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori makna oleh Wendell Johnson. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus guna memperoleh data yang relevan serta menjawab rumusan masalah. Hasil yang diperoleh dari lapangan adalah pepongoten sudah dianggap tidak terlalu penting dilaksanakan di dalam upacara perkawinan, hal tersebut ditandai dengan respon masyarakat yang mengatakan bahwa tidak mengapa jika hal tersebut tidak dilakukan. Lalu hadirnya pepongoten atau sebuku dari ranah ritual ke ranah pertunjukan dikarenakan usaha pemerintah dan masyarakat untuk menjaga seni tutur tersebut agar tidak sepenuhnya hilang. Agar para generasi baru masih mengetahui bahwa ada produk seni tersebut di daerah mereka, karena pepongoten tersebut bermakna sebagai gambaran kesantunan seseorang yang masih memegang ketentuan adat agar terhindar dari sumang (hal-hal yang dianggap tidak baik dalam pandangan adat).