Ksatria: memahami Tripama & Hasthabrata: Koleksi Wayang Museum Sonobudoyo & Yuwono Sri Suwito

Adalah Pandawa: sang lima bersaudara dalam epik Mahabharata yang selalu didengung-dengungkan sebagai ksatria. Hidup mereka—Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula & Sadewa--sejatinya dinamis. Berbagai pergolakan dialaminya: dihinakan dalam pesta dadu, bertarung dalam perang besar di Kurusetra, memeras k...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: SUSANTO, Mikke [et.al]
Format: Buku Teks
Language:IN-EN
Published: Museum Sonobudoyo 2014
Subjects:
Online Access:http://opac.isi.ac.id//index.php?p=show_detail&id=44140
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
PINJAM
Description
Summary:Adalah Pandawa: sang lima bersaudara dalam epik Mahabharata yang selalu didengung-dengungkan sebagai ksatria. Hidup mereka—Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula & Sadewa--sejatinya dinamis. Berbagai pergolakan dialaminya: dihinakan dalam pesta dadu, bertarung dalam perang besar di Kurusetra, memeras keterampilan hidup di hutan, mengawal titah alam dan bertarung dengan ketidakramahan. Intinya sederhana: hidup mereka menjadi inspirasi setiap insan yang ingin mengerti hidup yang baik, berguna, membela kebenaran dan mengalami proses hidup yang berputar ibarat tasbih. Pada sisi lain yang masih bergulat dengan citra epik kebesaran ksatria Pandawa, maka point of view kita perlahan akan mengarah pada tokoh-tokoh yang tidak kalah perannya dan layak juga disimak dan diketahui. Bukan sengaja dilupakan, tetapi perlu diberikan ruang kembali untuk refleksi dan reintrospeksi kondisi negeri yang membutuhkan /1 cermin" dari pribadi para ksatria ini. Ketika para 'wira' dengan keberanian dan keteguhan hati menjalankan peran 1nereka sebagai seorang ksatria berjalan menapaki jalan kepahlawanan, nilai eksotik, heroik, pedagogik, etika, moral, ketulusan, dan falsafati hadir di samping kisah-kisah keberanian mereka. Sebut saja tiga teladan dalam sebuah perumpamaan. Dialah sang Kumbakarna, ksatria dari negeri Alengka dalam epik Ramayana. Kisah sepak terjangnya yang diabadikan dalam Tripama karya Mangkunagara IV ini memberikan nilai moral yang amat besar sebagai patriot bangsa. Bukan membela kakaknya yang bertabiat jahat , Dasamuka, tetapi lebih pada ketidak -relaan atas bumi kelahirannya yang diharu-biru diserbu musuh. Prinsip rela berkorban diterapkan sebagai seorang pembela tanah air: Right or wrong it's my country. Itulah Kumbakarna. Dalam pameran ini akan ditampilkan sosok sang 'wira' dengan apae s diyuan jiwa satriya (berwajah raksasa, betjiwa ksatria). Juga, Sumantri, salah seorang perwira Mahespati, kesayangan Arjunawijaya atau Arjunasasrabahu sebagai panglima dengan keberanian dan pengabdian terhadap negara dan raja ini pun mempunyai jalinan kisah yang menarik disimak. Selain itu Karna, ksatria yang tahu akan balas budi dan rela lebur bersama keangkara-murkaan Duryudana dalam Barathayuda. Pengorbanan untuk hamemayu hayuning bawana demi sirnaning ambeg angkara serta keteguhan janji atau sumpah yang dibawanya membawa cerminan serta introspeksi ber-refleksi atas diri kita terhadap apa dan siapa yang kita hadapi. Dalam rangka mencari sosok pemimpin yang berjiwa besar lagi teguh hati dan berwatak ksatria, selayaknya Hasthabrata atau delapan ajaran yang berisi tentang panduan seorang pemimpin perlu untuk kita cermati kembali. Ajaran Rama terhadap Wibisana, Kesawasidhi terhadap Arjuna, serta Kusumawicitra terhadap kedua putranya menjadi sarana pengingat bagi generasi negeri ini. Pandawa dan para ksatria lain di atas adalah kata kunci dalam pameran ini. Ksatria bukanlah sikap yang bias, meskipun tidak pula diartikulasi secara "tunggal". Dalam konteks ini ksatria diklasifikasi atas dua hal: kewiraan (maskulin, jantan-berani, leadership dalam hasthabrata) & sikap bela negara dalam tripama. Sifat ksatria, selain karena menjunjung tinggi kebenaran atau pembelaan terhadap negara, juga dinaungi oleh pembawaan diri dan dipengaruhi lingkungan serta ginealoginya agar memiliki sikap kepemimpinan. Lalu bagaimana menerapkan dan mengartikulasi perilaku ksatria pada hari ini? Maklum saja, kata "ksatria", "satria", "kesatria", atau "kshatriya" kini telah digunakan pada sembarang benda dan khasanah. Jika Anda cerrnati di Indonesia sejumlah film layar lebar dan seri telah muncul: "Satria Bergitar" (1984), "Ksatria Baja Hitam (Kamen Rider Black)" (1987) dan "Bima: Satria Garuda" (2013). Jika Anda cermat beberapa benda juga dinamai dengan kata sakti ini: Sepeda motor Suzuki "Satria", Pura Pedarman Agung Ksatria Denpasar, dan sebagainya. Sampai pada isu yang kini terus dipolemikkan: Satrio Piningit. Dalam konteks sosial politik, istilah ini juga menjadi isu penting. Pasca-pilpres, negeri ini membutuhkan sikap-sikap ksatria untuk kembali menjadi manusia seutuh-utuhnya. Interaksi sosial antar warga negara ketika kemenangan bersama (karena presiden telah terpilih) harus digugah ulang. Bangsa ini membutuhkan mental untuk terus berlabuh menuju tujuan hakiki, yakni kemanusiaan. Karenanya, pameran ini menjadi ujung pangkal mempertanyakan pada diri masing-masing apa sesungguhnya sifat ksatria itu. Pameran ini akan menampilkan sejurnlah wayang koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan koleksi pribadi Bapak Ir. Yuwono Sri Suwito M.M. Koleksi wayang ini merupakan aset bernilai tinggi yang berguna sebagai pembentukan karakter bangsa. Museum Sonobudoyo adalah salah satu institusi yang tergolong lengkap dalam koleksi wayang dengan berbagai gaya. Karenanya, pameran ini menjadi kesempatan berharga untuk menvulut kembali nilai-nilai ke-Indonesia-an, khususnya wacana rnengenai jiwa ksatria yang sesungguhnya telah kita dalami sejak lama. Selain itu, pameran ini dimeriahkan pula karya-karya seni rupa tradisi dan seni rupa kontemporer. Menghadirkan mereka adalah sebuah keniscayaan. Mereka memiliki fungsi ganda, selain menjadi perupa yang mampu mendeskripsikan nilai-nilai yang telah dituliskan (konvensi yang telah disepakati), mereka juga menjadi sosok-sosok yang mampu merangkum 1 perkembangan zaman terkini, melalui (citra) visual. Para perupa ini antara lain karya-karya pelukis kaca ternama Rastika (Cirebon) dan Ketut Santosa (Baii), perupa seni rupa modem-kontemporer antara lain Yaksa Agus (pelukis), Edi Dolan. (pelukis daluang), M. Roziq (fotografer), Donny Kurniawan (komikus), Ve Dhanito (fotografer), dan Jhoni Waldi (pematung). Masing-masing karya dan konsepnya bisa dibaca dalam rubrik karya seni dalam katalog ini. Indahnya pameran ini juga terletak pada tersajinya sejumlah presentasi, baik berupa materi berupa karya seni (wayang, lukisan, dan fotografi), juga materi "pelajaran" berupa teks-teks penunjang. Dalam pameran ini seperangkat teks juga disajikan seperti asal usul, silsilah atau ginealogi tokoh, dan teks mengenai perkembangan seni wayang yang lebih umum. Di luar itu, topik pameran yang ditujukan untuk mereka yang baru mengenal wayang ini akan dipilah menjadi beberapa sub-kurasi. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan detail dan menjelaskan setiap lini topik pameran ini secara mudah bagi apresian muda. Jika dicermati dari karya wayang dan sejumlah karya seni rupa lainnya, inti dari konsep ksatria (seperti pada konsep kekastaan Hindu) adalah melakukan penegakan kebenaran, keadilan, dan pelayanan pada negara yang bersandar pada rasa tanggung jawab yang besar. Jika dirujuk dalam konteks yang lebih umum, artikulasi yang paling dekat dengan konsep ksatria adalah perjuangan (jiwa dan aksi) untuk menghalau segala hambatan yang bertujuan pada kebenaran dan keadilan. Persoalannya sekarang: apa dan bagaimana keadilan dan kebenaran itu harus dimaknai?